Sabtu, 19 November 2011

lagi-lagi tentang Lakbok :D


Kecamatan Lakbok merupakan wilayah yang luas dengan area pesawahannya kata orang dulu namanya RAWA ONOM LAKBOK dan masuk Kabupaten Ciamis. Kecamatan Lakbok secara adminitratif terbagi menjadi  10 Desa/Kelurahan yaitu:  Puloerang •Tambakreja  • Sukanagara • Cintaratu • Kalapasawit • Kertajaya • Cintajaya  • Baregbeg • Sidaharja • Sindangangin ,
Bahasa dialek yang digunakan campuran ada yang Sunda dan Jawa karena letak geografis berbatesan dengan Wilayah Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah) yang dibatas dengan Sungai Citanduy.
Kedaan dan situasi :
1. Mengenai Pertanian
Para petani sering gundah gulana karena memikirkan hasil panen yang tidak memuaskan (tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkan untuk biaya pengolahan pra panen). Pelaksanaan pesta panen tidak sama, ada yang 2 kali dalam setahun ada yang 3 kali pertahunnya. untuk wilayah Puloerang dan sekitarnya pelaksanaan panen bisa 3 kali pertahun kalau tidak ada gangguan hama. Untuk wilayah Ds. Sidaharja-Ds. Sindangangin-Ds. Sidarahayu dan 7 desa lainya merupakan daerah yang kurang beruntung dikarenakan pelaksanaan panen padi maksimal 2 kali pertahun, rata-rata peratus/100 bata  menghasilkan 5 ton kalau lagi nasib bagus.
Sayapun heran dengan kenyataan ini, kenapa wilayah yang digemborkan sebagai penghasil Padi terbesar di Kabupaten Ciamis seakan kurang diperhatikan, dari mulai pemupukan, pengairan sawah (panca Tani) harusnya minimal di buat program yang disosialisasikan lewat kelompok tani secara routin, namun sampai saat ini masih belum ada.
2. Jalur  Transportasi
Jalan yang ada di wilayah Lakbok merupakan suatu PR, karna perlu adanya perbaikan yang global. Kalau dilihat dari realita jalan yang baik tapi tidak sebaik Kota Banjar, hehe…. yaitu dari mulai Desa Nambo sampai Kelapasawit, yang lainnya jangan ditanya, malah kalau dilihat diperkapungan seakan tidak terurus.
tunggu informasi selanjutnya………….

Lakbok(bisa melak tapi teu bisa ngalebok)

FENOMENA IRONIS DI PINGGIRAN KOTA BANJAR



LAKBOK Perkampungan yg lahannya daerah pertanian lahan basah atau pesawahan di sebelah Timur Kota Banjar Patroman. Daerah ini secara administrasi wilayahnya masih ada dlm wilayah Kabupaten Ciamis. Tetapi entah bagaimana asal muasal nama daerah LAKBOK yg dikiratakan oleh sebagian besar warga daerah setempat adlh meLAK tapi teu ngaleBOK, artinya menanam namun jarang makan, jarang panen dan jarang ternikmati buah hasilnya. Fenomena ini atas nama singkatan yg tentunya memiliki alasan, yakni alasan yg mana di daerah tsb pd masa lalunya sering kena imbasnya “cai ca’ah” dari sub DAS Citanduy. Cai ca’ah atau lazimnya disebut karena peristiwa banjir.

KEJADIAN BANJIR KARENA CITANDUY CA’AH, yg pernah terjadi manakala jalur Citanduy masih hieum beuleugeudeugan thn 1603, sehingga air melimpah ke kawasan2 anak sungai dan kawasan hutan koridornya. Kejadian bencana banjir tsb konon tdk menelan korban dan kerugian krn waktu itu masih dlm kondisi hutan koridor. Malahan setelah surut masa air ca’ah tsb banyak menyisakan beberapa tanah sedimentasi alluvial muda dan kecamabah tumbuhan baru. Namun, bencana banjir yg tercatat di Dep PU jadul, yaitu thn 1968 dimana kerusakan bangunan tanggul yg terjadi di Cikadu, Randegan dan Cikawung terendam air sampai 0,50-2,50 m. Banjir di tahun 1968 ini, sampai juga ke daerah Siderja, Paledah Ciganjeng, Tunggulis. Dll yg merupakan kawasan Sub DAS Citanduy.

DAN PADA TAHUN 1979 TERJADI juga bencana banjir yg cukup besar, tanggul2 didaerah langganan banjir seperti di Cikadu, Randegan, Ciganjeng, Tunggilis, Cikawung, Sawit, Lakbok dan sekitar terendam air cukup dlm dan besaran bencana banjir ini lebih besar dari tahun2 sebelumnya (1960 dan 1968). Bencana banjir thn 1979 ini kerugian atas pertanian sawah yg gagal panen dan juga kerugian matrial yg cukup besar berikut beberapa korban nyawa penduduknya. Bangunan tanggul, bangunan bagi, saluran primer dan tersier pd irigasi teknis juga banyak yg hancur dan jebol, maka-nya daerah lumbung padi di Cikawung, Ciseel, Citalahab, Cijolang, dan kawasan Lakbok dan sekitarnya tsb thn 1979 jadi gagal panen raya. Dan Lakbok yg “melak tapi teu ngalebok” itu jadi nyata krn semua hamparan pesawahannya terendam air banjir atau air ca’ah. Banjir besar thn 1979 ini terjadi pd seputaran bulan September-Oktober 1979. Dan thn berikutnya thn 1980 terwujud “blue print” utk Proyek Citanduy (Procit) 1980-2005 (25 thn). Namun pd awal thn 1983 hingga sekarang daerah2 tersebut sdh tidak lagi sebagai daerah “melak tapi ngalebok”, melainkan sdh jadi bagian wilayah yg memiliki konstribusinya terhadap swadaya pangan beras regional Jabar pd thn 1982-1986. Semoga daerah di bagian timur wilayah Kota Banjar ini tetap terjaga dan tdk mengalami penyusutan lahan karena peralihan fungsi lahan yg terjadi utk pengembangan Kota Banjar Patroman sekarang atau masa yg akan datang.

sumber: http://dafa-meteora.blogspot.com/2011/03/lakbok-ciamis.html#ixzz1eE5opjh4
ixzz1eE5opjh4

Jumat, 11 November 2011

sejarah kabupaten Ciamis.....

” …. di sanaa tempat lahir betaa…. dibuaaai dibesarkan bundaa .. “

Rasanya sebaris lagu tsb cocok untuk menceritakan Ciamis, kota kecil di ujung timur Jawa Barat, tempat pertama kali menghirup udara dunia yang segar, tumbuh, selama sekitar tujuh belas tahun…

Banyak perubahan yang telah terjadi, kawasan ‘kota’ yang bertambah luas, ruas jalan bertambah panjang, kendaraan bertambah banyak, wajah kota yang mulai ‘agak’ berubah seiring dengan keberadaan toko-toko swalayan, dan juga area alun-alun, daerah favorit saya dan anak-anak setiap kali pulang kampung…
Taman raflesia, amphitheater, jogging track, ‘taman pijit refleksi’, air mancur, merupakan elemen-elemen baru yang turut mensukseskan keberadaan pusat Kota Ciamis tersebut, terutama di saat-saat bulan puasa.
Tak ketinggalan pula delman domba, atau sering disingkat deldom, kendaraan khas yang merupakan miniatur delman yang biasanya ditarik oleh kuda, turut memberikan suasana meriah di sana…

Berjuta kenangan yang terlintas setiap kali berada di kota manis ini, kenangan manis tentunya… masa kanak-kanak penuh keceriaan, suasana alam yang masih bersahabat yang alhamdulillah masih dapat dirasakan dan dialami oleh anak-anak kami…

Sebenarnya banyak sekali potensi yang dimiliki kabupaten paling timur di propinsi Jawa Barat ini, mulai dari keindahan pantai Karapyak, Karang Nini, Lembah Putri, Pananjung Pangandaran, Pasir Putih, Cagar Alam, Batu Hiu, Batu Karas, sampai Cimerak di bagian pesisir selatan, dan berbagai potensi pertanian dan perkebunan yang ada di bagian utara.

Kecamatan Cimerak, Cijulang, sampai Langkaplancar yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sentra perikanan, pertanian, perkebunan, dan kehutanan tentunya akan semakin memberikan sumbangan yang signifikan manakala dikelola dengan baik, didukung sarana dan prasana yang terus ditingkatkan sehingga mempermudah aksesibilitas untuk memasarkan berbagai komoditas hasil olahan ke dan dari daerah tersebut.
Padaherang, Kalipucang, Lakbok, tentunya masih dikenal sebagai kawasan pertanian yang cukup luas, walau sudah mulai berkurang tentunya karena tuntutan perubahan yang ada.


nahhhh,,, setlah baca semua tentang Ciamisss,,,, apa kaliaaan tau sejarah Ciamis??? tau gak??? gak tau ya???? NDESO!!! hehe,,, PEACE... ^_^
berikut saya jelaskan alias kassiiihhh tau kepada kalian para ornag2 ndeso yg gak tau ttg sejarah Ciamis,... hahahahahaa #ketawa ala pahlawan bertopeng,,,,
langsung ajelah kagak perlu panjang di kali lebar,,,, hohohohoho

:::::::SEJARAH CIAMIS::::::::

Menurut sejarawan W.J Van der Meulen, Pusat Asli Daerah (kerajaan) Galuh, yaitu disekitar Kawali (Kabupaten Ciamis sekarang). Selanjutnya W.J Van der Meulen berpendapat bahwa kata "galuh", berasal dari kata "sakaloh" berarti "dari sungai asalnya", dan dalam lidah Banyumas menjadi "segaluh". Dalam Bahasa Sansekerta, kata "galu" menunjukkan sejenis permata, dan juga biasa dipergunakan untuk menyebut puteri raja (yang sedang memerintah) dan belum menikah.


Sebagaimana riwayat kota-kabupaten lain di Jawa Barat, sumber-sumber yang menceritakan asal-usul suatu daerah pada umumnya tergolong historiografi tradisional yang mengandung unsur-unsur mitos, dongeng atau legenda disamping unsur yang bersifat historis. Naskah-naskah ini antara lain Carios Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa, Wawacan Sajarah Galuh, dan juga naskah Sejarah Galuh bareng Galunggung, Ciung Wanara, Carita Waruga Guru, Sajarah Bogor. Naskah-naskah ini umumnya ditulis pada abad ke-18 hingga abad ke-19. Adapula naskah-naskah yang sezaman atau lebih mendekati zaman Kerajaan Galuh. Naskah-naskah tersebut, diantaranya Sanghyang Siksakanda ‘Ng Karesian, ditulis tahun 1518, ketika Kerajaan Sunda masih ada dan Carita Parahyangan, ditulis tahun 1580.Berdirinya Galuh sebagai kerajaan, menurut naskah-naskah kelompok pertama tidak terlepas dari tokoh Ratu Galuh sebagai Ratu Pertama. Dalam laporan yang ditulis Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972), terdapat berbagai nama kerajaan sebagai berikut: Kerajaan Galuh Sindula (menurut sumber lain, Kerajaan Bojong Galuh) yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili (tahun 78 Masehi?); Kerajaan Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan; Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan; Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan; Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman; Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan; Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo; Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan; Galuh Pakuan beribukota di Kawali; Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan; Galuh Pataka berlokasi di Nanggalacah beribukota Pataka; Kabupaten Galuh Nagara Tengah berlokasi di Cineam beribukota Bojonglopang kemudian Gunungtanjung; Kabupaten Galuh Imbanagara berlokasi di Barunay (Pabuaran) beribukota di Imbanagara dan Kabupaten Galuh berlokasi di Cibatu beribukota di Ciamis (sejak tahun 1812).

Untuk penelitian secara historis, kapan Kerajaan Galuh didirikan, dapat dilacak dari sumber-sumber sezaman berupa prasasti. Ada prasasti yang memuat nama "Galuh", meskipun nama tanpa disertai penjelasan tentang lokasi dan waktunya. Dalam prasasti berangka tahun 910, Raja Balitung disebut sebagai "Rakai Galuh". Dalam Prasasti Siman berangka tahun 943, disebutkan bahwa "kadatwan rahyangta I mdang I bhumi mataram ingwatu galuh". Kemudian dalam sebuah Piagam Calcutta disebutkan bahwa para musuh penyerang Airlangga lari ke Galuh dan Barat, mereka dimusnahkan pada tahun 1031 Masehi. Dalam beberapa prasasti di Jawa Timur dan dalam Kitab Pararaton (diperkirakan ditulis pada abad ke-15), disebutkan sebuah tempat bernama "Hujung Galuh" yang terletak di tepi sungai Brantas. Nama Galuh sebagai ibukota disebut berkali-kali dalam naskah sebuah prasasti berangka tahun 732, ditemukan di halaman Percandian Gunung Wukir di Dukuh Canggal (dekat Muntilan sekarang).

Pada bagian carita Parahyangan, disebutkan bahwa Prabu Maharaja berkedudukan di Kawali. Setelah menjadi raja selama tujuh tahun, pergi ke Jawa terjadilah perang di Majapahit. Dari sumber lain diketahui bahwa Prabu Hayam Wuruk, yang baru naik tahta pada tahun 1350, meminta Puteri Prabu Maharaja untuk menjadi isterinya. Hanya saja, konon, Patih Gajah Mada menghendaki Puteri itu menjadi upeti. Raja Sunda tidak menerima sikap arogan Majapahit ini dan memilih berperang hingga gugur dalam peperangan di Bubat. Puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana waktu itu masih kecil. Oleh karena itu kerajaan dipegang Hyang Bunisora beberapa waktu sebelum akhirnya diserahkan kepada Niskala Wastu Kancana ketika sudah dewasa. Keterangan mengenai Niskala Wastu Kancana, dapat diperjelas dengan bukti berupa Prasasti Kawali dan Prasasti Batutulis serta Kebantenan.

Pada tahun 1595, Galuh jatuh ke tangan Senapati dari Mataram. Invasi Mataram ke Galuh semakin diperkuat pada masa Sultan Agung. Penguasa Galuh, Adipati Panaekan, diangkat menjadi Wedana Mataram dan cacah sebanyak 960 orang. Ketika Mataram merencanakan serangan terhadap VOC di Batavia pada tahun 1628, massa Mataram di Priangan bersilang pendapat. Rangga Gempol I dari Sumedang misalnya, menginginkan pertahanan diperkuat dahulu, sedangkan Dipati Ukur dari Tatar Ukur, menginginkan serangan segera dilakukan. Pertentangan terjadi juga di Galuh antara Adipati Panaekan dengan adik iparnya Dipati Kertabumi, Bupati di Bojonglopang, anak Prabu Dimuntur keturunan Geusan Ulun dari Sumedang. Dalam perselisihan tersebut Adipati Panaekan terbunuh tahun 1625. Ia kemudian diganti puteranya Mas Dipati Imbanagara yang berkedudukan di Garatengah (Cineam sekarang).

Pada masa Dipati Imbanagara, ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan dari Garatengah (Cineam) ke Calingcing. Tetapi tidak lama kemudian dipindahkan ke Bendanagara (Panyingkiran). Pada Tahun 1693, Bupati Sutadinata diangkat VOC sebagai Bupati Galuh menggantikan Angganaya. Pada tahun 1706, ia digantikan pula oleh Kusumadinata I (1706-1727).

Pada pertengahan abad ke-19, yaitu pada masa pemerintahan R.A.A. Kusumadiningrat menjadi Bupati Galuh, pemerintah kolonial sedang giat-giatnya melaksanakan tanam paksa. Rakyat yang ada di Wilayah Galuh, disamping dipaksa menanam kopi juga menanam nila. Untuk meringankan beban yang harus ditanggung rakyat, R.A.A. Kusumadiningrat yang dikenal sebagai "Kangjeng Perbu" oleh rakyatnya, membangun saluran air dan dam-dam untuk mengairi daerah pesawahan. Sejak Tahun 1853, Kangjeng Perbu tinggal di kediaman yang dinamai Keraton Selagangga.
Antara tahun 1859-1877, dilakukan pembangunan gedung di ibu kota kabupaten. Disamping itu perhatiannya terhadap pendidikan pun sangat besar pula. Kangjeng Perbu memerintah hingga tahun 1886, dan jabatannya diwariskan kepada puteranya yaitu Raden Adipati Aria Kusumasubrata.
Pada tahun 1915, Kabupaten Galuh dimasukkan ke Keresidenan Priangan, dan secara resmi namanya diganti menjadi Kabupaten Ciamis.


Sumber: Nina H. Lubis, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, tahun 2000.
 

Template Design By:
SkinCorner